Perlu dua musim bagi PSPS Pekanbaru untuk kembali ke kasta tertinggi
sepakbola Indonesia. Kemenangan fantastik 5-1 atas Persebaya Surabaya
dalam perebutan tempat ketiga Divisi Utama Liga Indonesia Jumat lalu,
mengantarkan April Hadi dkk ke Indonesia Super League (ISL) atau Liga
Super, kompetisi sepakbola level tertinggi Indonesia yang baru semusim
diputar menggantikan Divisi Utama, yang kini menjadi level kedua.
Tangan dingin H Abdul Rahman Gurning yang didukung oleh penampilan gemilang para pemain sepanjang musim dan dukungan manajemen yang dipimpin H Dastrayani Bibra plus harapan besar dari seluruh masyarakat Pekanbaru dan Riau, berhasil mengembalikan harga diri PSPS yang pernah memiliki nama begitu besar ketika di awal keberadannya di Divisi Utama mampu mengumpulkan bintang-bintang terbaik Indonesia ketika itu, meski secara prestasi memang belum mampu mencapai yang tertinggi.
Keberhasilan ini pantas diapresiasi tinggi. Pasalnya, tak ada nama besar berlabel bintang tinggi dalam skuad Gurning. Nama-nama pemain senior seperti Agusrianto, Rusdianto,
Imam Faisal, atau Irwanto digabungkan dengan pemain-pemain muda seperti Isnaini, April Hadi, Daniel Junaidi, Dedi Gusmawan, Agus Cima, Rifki Firdaus yang dipadu dengan pemain-pemain asing yang juga tak memiliki nama besar seperti Zumafo Epandi Herman, Bikoi Daniel Ose, Chyril Tcana dan Henry Njobe, ternyata menjelma menjadi tim kuat dan tangguh.
Namun euforia ini tidak boleh dilakukan secara berlebihan. Setelah memastikan ke ISL, banyak hal yang harus dikerjakan karena regulasi yang dikeluarkan PSSI sangat ketat. PSPS harus dikelola secara profesional jika ingin tampil di ISL. Tim harus dikelola oleh sebuah perusahaan berbadan hukum, yakni berbentuk Perseroan Terbatas (PT), ada lembaga keuangan yang menjamin (bank), memiliki stadion yang standar, yakni ada lampu, ruang ganti yang representatif plus tempat pemanasan, ruang wasit, ruang jumpa pers, jaminan keamanan di stadion dan berbagai fasilitas lainnya yang sudah ditulis dalam manual liga yang dibuat Badan Liga Indonesia (BLI).
Stadion Rumbai sebenarnya representatif, tapi memang perlu renovasi dengan menambahkan beberapa fasilitas tambahan termasuk menghidupkan lampu yang sudah terpasang lama. Persoalannya, stadion ini dikelola oleh Pemprov Riau melalui KONI, dan itu perlu dialog antara Pemprov dengan Pemko Pekanbaru yang “memiliki” PSPS.
Seusai memperkuat tim PWI Riau dalam pertandingan persahabatan melawan PSSI Old Star beberapa waktu lalu, Gubernur Riau Rusli Zainal berjanji akan membantu renovasi stadion tersebut jika PSPS lolos ke Liga Super. Namun hingga kini nampaknya belum ada pembicaraan serius dan ini perlu dilakukan secepatnya karena September nanti Liga Super sudah mulai diputar.
Selain infrastruktur, masalah pendanaan juga menjadi hal yang serius. Jika di Divisi Utama untuk lolos ke Liga Super PSPS menghabiskan dana sekitar Rp6-7 miliar, maka dana itu bisa dua kali lipat karena standar gaji pemain, pelatih dan fasilitas lain tentu berubah.
Nah, dari mana sumber dananya? Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang pengelolaan dana hibah sudah jelas, bahwa klub sepakbola tidak boleh memakai dana APBD. Tapi sebenarnya ada celah yang bisa dilakukan untuk memanfaatkan dana hibah ini, tergantung kemauan Pemko, persetujuan DPRD dan keikhlasan rakyat. Saya kira, kalau para pengelola transparan dan jujur dalam mengelola keuangan, masyarakat pasti rela.
Selain itu Pemprov juga harus ikut turun tangan membantu. Beberapa klub seperti Sriwijaya FC, Persija, Persib Bandung, Persipura, PSM Makassar dan yang lainnya berhasil meyakinkan bank daerah masing-masing bahwa sepakbola bisa menjadi sarana promosi dan membantu datangnya investasi. Maka pengelola yang nantinya duduk dalam PT yang membawahi PSPS harus mampu meyakinkan Bank Riau. Ini akan menjadi hal yang menarik jika logo Bank Riau ada di dada setiap pemain saat PSPS bertanding, dan ini akan membantu eksistensi Bank Riau karena hampir semua partai Liga Super disiarkan langsung televisi ke seluruh Indonesia.
Di luar itu, pengelola yang duduk di perusahaan itu nantinya juga harus bisa meyakinkan beberapa perusahaan besar di Riau untuk menjadi sponsor seperti yang pernah terjadi di awal-awal PSPS bermain di level tertinggi Liga Indonesia dulu.
Maka, untuk melakukan pekerjaan besar itu, orang-orang yang bekerja di perusahaan tersebut harus orang-orang profesional di bidangnya. Direktur Olaharaga harus orang yang mengerti tentang sepakbola: tahu pemain yang bagus, tahu bagaimana mencari dan mengelola pemain dan bisa bekerja sama dengan pelatih dalam hal itu. Kemudian ada Direktur Teknik yang tahu segala hal tentang teknis sepakbola, mulai dari tim yang beratarung di Liga Super sampai mempersiapkan konsep pembinaan untuk tim junior berjenjang. Karena, ini juga masuk dalam manual liga, bahwa tim Liga Super harus punya tim junior yang dikelola berjenjang. Klub harus bisa melahirkan pemain dan tim junior itu juga turun di kompetisi level tertentu. Dan beberapa jabatan strategis lainnya yang harus dipegang orang yang profesional di bidangnya.
Nah, ini memang pekerjaan besar dan harus dilakukan oleh orang-orang yang memang mampu dan profesional. Dan mulai dari sekarang harus dimulai. Kita tak ingin kasus Persiter Ternate dan Persmin Minahasa yang tak bisa tampil di Liga Super karena tak punya stadion layak dan dana, akan terjadi pada PSPS. Kita juga pasti tak ingin juga PSPS nantinya bermain di stadion tim lain seperti sekarang yang dialami PSMS Medan atau Persita Tangerang yang berimbas pada buruknya prestasi dan terancam degradasi.
Jika tak ingin itu terjadi, maka dari sekarang semuanya harus dimulai. Untuk itui semua elemen harus mendukung PSPS. Selamat bekerja keras (RiauPos.com)
Tangan dingin H Abdul Rahman Gurning yang didukung oleh penampilan gemilang para pemain sepanjang musim dan dukungan manajemen yang dipimpin H Dastrayani Bibra plus harapan besar dari seluruh masyarakat Pekanbaru dan Riau, berhasil mengembalikan harga diri PSPS yang pernah memiliki nama begitu besar ketika di awal keberadannya di Divisi Utama mampu mengumpulkan bintang-bintang terbaik Indonesia ketika itu, meski secara prestasi memang belum mampu mencapai yang tertinggi.
Keberhasilan ini pantas diapresiasi tinggi. Pasalnya, tak ada nama besar berlabel bintang tinggi dalam skuad Gurning. Nama-nama pemain senior seperti Agusrianto, Rusdianto,
Imam Faisal, atau Irwanto digabungkan dengan pemain-pemain muda seperti Isnaini, April Hadi, Daniel Junaidi, Dedi Gusmawan, Agus Cima, Rifki Firdaus yang dipadu dengan pemain-pemain asing yang juga tak memiliki nama besar seperti Zumafo Epandi Herman, Bikoi Daniel Ose, Chyril Tcana dan Henry Njobe, ternyata menjelma menjadi tim kuat dan tangguh.
Namun euforia ini tidak boleh dilakukan secara berlebihan. Setelah memastikan ke ISL, banyak hal yang harus dikerjakan karena regulasi yang dikeluarkan PSSI sangat ketat. PSPS harus dikelola secara profesional jika ingin tampil di ISL. Tim harus dikelola oleh sebuah perusahaan berbadan hukum, yakni berbentuk Perseroan Terbatas (PT), ada lembaga keuangan yang menjamin (bank), memiliki stadion yang standar, yakni ada lampu, ruang ganti yang representatif plus tempat pemanasan, ruang wasit, ruang jumpa pers, jaminan keamanan di stadion dan berbagai fasilitas lainnya yang sudah ditulis dalam manual liga yang dibuat Badan Liga Indonesia (BLI).
Stadion Rumbai sebenarnya representatif, tapi memang perlu renovasi dengan menambahkan beberapa fasilitas tambahan termasuk menghidupkan lampu yang sudah terpasang lama. Persoalannya, stadion ini dikelola oleh Pemprov Riau melalui KONI, dan itu perlu dialog antara Pemprov dengan Pemko Pekanbaru yang “memiliki” PSPS.
Seusai memperkuat tim PWI Riau dalam pertandingan persahabatan melawan PSSI Old Star beberapa waktu lalu, Gubernur Riau Rusli Zainal berjanji akan membantu renovasi stadion tersebut jika PSPS lolos ke Liga Super. Namun hingga kini nampaknya belum ada pembicaraan serius dan ini perlu dilakukan secepatnya karena September nanti Liga Super sudah mulai diputar.
Selain infrastruktur, masalah pendanaan juga menjadi hal yang serius. Jika di Divisi Utama untuk lolos ke Liga Super PSPS menghabiskan dana sekitar Rp6-7 miliar, maka dana itu bisa dua kali lipat karena standar gaji pemain, pelatih dan fasilitas lain tentu berubah.
Nah, dari mana sumber dananya? Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang pengelolaan dana hibah sudah jelas, bahwa klub sepakbola tidak boleh memakai dana APBD. Tapi sebenarnya ada celah yang bisa dilakukan untuk memanfaatkan dana hibah ini, tergantung kemauan Pemko, persetujuan DPRD dan keikhlasan rakyat. Saya kira, kalau para pengelola transparan dan jujur dalam mengelola keuangan, masyarakat pasti rela.
Selain itu Pemprov juga harus ikut turun tangan membantu. Beberapa klub seperti Sriwijaya FC, Persija, Persib Bandung, Persipura, PSM Makassar dan yang lainnya berhasil meyakinkan bank daerah masing-masing bahwa sepakbola bisa menjadi sarana promosi dan membantu datangnya investasi. Maka pengelola yang nantinya duduk dalam PT yang membawahi PSPS harus mampu meyakinkan Bank Riau. Ini akan menjadi hal yang menarik jika logo Bank Riau ada di dada setiap pemain saat PSPS bertanding, dan ini akan membantu eksistensi Bank Riau karena hampir semua partai Liga Super disiarkan langsung televisi ke seluruh Indonesia.
Di luar itu, pengelola yang duduk di perusahaan itu nantinya juga harus bisa meyakinkan beberapa perusahaan besar di Riau untuk menjadi sponsor seperti yang pernah terjadi di awal-awal PSPS bermain di level tertinggi Liga Indonesia dulu.
Maka, untuk melakukan pekerjaan besar itu, orang-orang yang bekerja di perusahaan tersebut harus orang-orang profesional di bidangnya. Direktur Olaharaga harus orang yang mengerti tentang sepakbola: tahu pemain yang bagus, tahu bagaimana mencari dan mengelola pemain dan bisa bekerja sama dengan pelatih dalam hal itu. Kemudian ada Direktur Teknik yang tahu segala hal tentang teknis sepakbola, mulai dari tim yang beratarung di Liga Super sampai mempersiapkan konsep pembinaan untuk tim junior berjenjang. Karena, ini juga masuk dalam manual liga, bahwa tim Liga Super harus punya tim junior yang dikelola berjenjang. Klub harus bisa melahirkan pemain dan tim junior itu juga turun di kompetisi level tertentu. Dan beberapa jabatan strategis lainnya yang harus dipegang orang yang profesional di bidangnya.
Nah, ini memang pekerjaan besar dan harus dilakukan oleh orang-orang yang memang mampu dan profesional. Dan mulai dari sekarang harus dimulai. Kita tak ingin kasus Persiter Ternate dan Persmin Minahasa yang tak bisa tampil di Liga Super karena tak punya stadion layak dan dana, akan terjadi pada PSPS. Kita juga pasti tak ingin juga PSPS nantinya bermain di stadion tim lain seperti sekarang yang dialami PSMS Medan atau Persita Tangerang yang berimbas pada buruknya prestasi dan terancam degradasi.
Jika tak ingin itu terjadi, maka dari sekarang semuanya harus dimulai. Untuk itui semua elemen harus mendukung PSPS. Selamat bekerja keras (RiauPos.com)
